Menangis Bukan Berarti Lemah, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Pernahkah kamu mendengar orang lain menyuruhmu untuk berhenti menangis ketika sedang sedih? Atau, kamu mendengar ucapan bahwa seseorang tidak boleh menangis, karena menangis membuatnya tampak lemah?
Sejak lama, menangis memang dipandang sebelah mata. Orang yang mudah menangis akan disebut cengeng dan dilihat sebagai pribadi yang emosinya kurang stabil.
Tak hanya itu, mengutip BBC, orang yang mudah menangis juga dipandang tidak terlalu kompeten jika dibandingkan dengan mereka yang jarang menangis. Ini berlaku pada perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, masyarakat kian mengasosiasikan menangis dengan kelemahan, terutama jika laki-laki yang melakukannya.
Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa konsepsi ini menyebar luas dan diterima dengan mudah oleh masyarakat?
Dilansir Psychology Today, ketika perempuan menangis, masyarakat akan lebih memakluminya. Ini disebabkan oleh adanya paham bahwa menangis adalah tindakan yang feminin dan selalu dilekatkan dengan sifat perempuan.
Perempuan lebih sering menangis dibanding laki-laki
Asosiasi antara perempuan dan menangis tidak datang dengan sendirinya, Ladies. Menurut American Psychology Association (APA), studi membuktikan bahwa frekuensi menangis pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Pada 1980-an, ahli biokimia William H. Frey, Ph.D mengungkapkan bahwa perempuan menangis setidaknya 5,3 kali dalam sebulan, sedangkan laki-laki 1,3 kali. Hingga 2011, angka rata-rata tersebut diperkirakan masih sama.
Secara biologis, kemungkinan besar ada alasan di balik frekuensi menangis yang lebih tinggi pada perempuan. Hormon adalah penyebabnya. Hormon testosteron pada laki-laki kemungkinan dapat mencegah terjadinya tangisan, sedangkan hormon prolaktin—yang levelnya lebih tinggi pada perempuan—kemungkinan besar memicu terjadinya tangisan.
Lalu, apa alasan menangis dianggap lemah?
Dilansir Psychology Today, yang membuat menangis dianggap sebagai kelemahan adalah asosiasinya terhadap feminitas atau keperempuanan. Biophysical Society menyebut bahwa sejak lama, perempuan telah dipandang sebagai gender yang lebih lemah ketimbang laki-laki.
Oleh sebab itu, ketika laki-laki menangis, konsep “feminin” atau “keperempuanan” cenderung dilekatkan pada mereka. Kemudian, tradisi ini terus menurun karena sejak kecil, anak laki-laki diajarkan untuk tidak boleh menangis agar tidak terlihat lemah. Ini juga senada dengan penjelasan dari penulis buku Weaving Well-Being, Fiona Forman.
“Secara tradisional, laki-laki akan dipandang lemah atau ‘tidak laki’ jika mereka mengekspresikan emosi mereka lewat menangis,” ujar Fiona, sebagaimana dikutip dari Irish Times.
Tidak hanya laki-laki yang dianggap lemah karena menangis, Ladies. Dilansir BBC, di berbagai bidang, perempuan kerap dipandang kurang kompeten.
Dalam studi oleh Tilburg University, dijelaskan bahwa perempuan yang tidak menangis masih dianggap lebih kurang kompeten dibandingkan laki-laki yang sering menangis. Perempuan yang menangis, terutama dalam kehidupan profesional, dianggap manipulatif atau terlalu lembut.
Nah, artinya, bisa disimpulkan bahwa budaya yang menganggap perempuan lebih lemah, merupakan alasan mengapa menangis kerap dianggap sebagai kelemahan.
Menangis itu tidak lemah
Kendati paham “menangis adalah kelemahan” masih beredar di masyarakat, nyatanya, konsep tersebut tidak benar adanya, Ladies. Dilansir Harvard Health Publishing, menangis adalah fenomena yang unik dan merupakan respons natural terhadap berbagai emosi manusia: Dari bahagia hingga sedih, dari marah hingga cemas.
Baik perempuan maupun laki-laki boleh menangis, karena menangis adalah fenomena alami yang terjadi pada tubuh manusia. Bahkan, menangis memiliki berbagai manfaat kesehatan, mulai dari melepaskan stres hingga meringankan rasa sakit emosional.
Nah, Ladies, selalu ingat bahwa kamu boleh menangis dan melepaskan emosi lewat cara yang sehat, ya!

Keranjang Belanja
Scroll to Top