Waham atau delusi adalah kondisi ketika seseorang tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan. Kondisi ini kerap membuat penderitanya memiliki keyakinan kuat terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan, keyakinan tersebut tidak bisa diubah meski sudah dibuktikan salah dengan fakta-fakta.
Â
Sebetulnya, apa penyebab delusi dan bagaimana cara mengatasinya? Mari cari tahu jawaban selengkapnya melalui ulasan di bawah ini.
Â
Apa itu Delusi (Waham)?
Â
Waham atau delusi adalah salah satu jenis gangguan kesehatan mental yang membuat penderitanya tidak bisa membedakan antara realita dan imajinasi, sehingga mereka kerap meyakini atau berperilaku sesuai dengan hal-hal yang ada di dalam pikirannya.
Â
Secara umum, waham adalah kondisi yang kerap dihubungkan dengan halusinasi. Meski sama-sama membuat seseorang tidak bisa membedakan antara hal yang nyata dan tidak nyata, terdapat perbedaan antara delusi dan halusinasi yang jarang disadari oleh masyarakat.
Â
Pada dasarnya, delusi adalah kondisi yang membuat seseorang percaya atau memiliki keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau tidak terjadi. Sementara itu, halusinasi adalah gangguan persepsi yang membuat seseorang mendengar, merasa, mencium, atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
Â
Kendati demikian, delusi sering kali muncul bersamaan dengan halusinasi, di mana kedua gejala tersebut merupakan bagian dari gangguan psikotik. Salah satu gangguan psikotik yang paling lazim ditemukan adalah skizofrenia.
Â
Penyebab Delusi
Â
Belum diketahui secara pasti apa penyebab seseorang mengalami delusi. Namun, terdapat beberapa kondisi atau faktor yang diduga dapat memicu delusi, di antaranya sebagai berikut.
Â
Faktor genetik: Seseorang yang memiliki keluarga, terutama keluarga inti, dengan riwayat gangguan delusi atau gangguan mental lainnya dinilai lebih berisiko mengalami kondisi serupa.
Faktor biologis: Gangguan atau kelainan pada bagian otak yang berfungsi untuk mengatur proses berpikir (lobus frontal) dan persepsi (lobus parietal) diduga dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan delusi.Selain itu, ketidakseimbangan neurotransmitter (senyawa kimia dalam otak yang berfungsi sebagai penghantar pesan dari dan ke sel saraf di sistem saraf pusat) pada otak juga menjadi salah satu faktor risiko gangguan delusi.
Faktor psikologis: Trauma atau stres berkepanjangan dipercaya dapat memicu seseorang mengalami gangguan delusi. Selain itu, individu yang kerap mengisolasi diri dan menjauh dari lingkungan sosial juga lebih berisiko mengalami kondisi ini.
Faktor lingkungan: Dalam beberapa kasus, seseorang yang menderita gangguan delusi juga dapat memicu orang lain untuk mengalami hal serupa. Kondisi ini dapat terjadi pada sekelompok individu yang tinggal bersama dan jarang bersosialisasi dengan orang lain.
Faktor kondisi medis: Kondisi medis tertentu, seperti gangguan psikotik, gangguan suasana hati, postpartum psychosis, demensia, atau penyakit Parkinson diketahui dapat menimbulkan gejala berupa delusi.
Â
Gejala Delusi
Â
Pada dasarnya, delusi adalah kondisi yang dapat menimbulkan gejala beragam sesuai dengan jenisnya. Untuk lebih jelasnya, sejumlah gejala umum dari masing-masing jenis delusi adalah sebagai berikut.
Â
Grandiose: Kondisi yang membuat penderitanya memiliki harga diri sangat tinggi serta menganggap bahwa mereka merupakan orang yang berbakat, berpengaruh, dan sangat dibutuhkan oleh orang lain.
Persecutory: Kondisi ketika seseorang memercayai bahwa dirinya sedang diperlakukan secara tidak adil atau merasa ada orang lain yang berusaha untuk mencelakainya.
Erotomania: Ditandai dengan keyakinan kuat bahwa ada seseorang yang sedang jatuh cinta padanya, padahal kenyataannya tidak. Bahkan, seseorang dengan kondisi ini juga dapat berperilaku obsesif, posesif, hingga mengganggu privasi orang yang dianggap sedang mencintainya.
Jealous: Kondisi yang membuat seseorang meyakini bahwa pasangannya sedang bersikap tidak setia.
Bizarre: Jenis gangguan delusi yang menyebabkan penderitanya meyakini hal-hal yang tidak wajar dan tidak masuk akal. Contohnya, penderita waham bizzare memiliki keyakinan jika dirinya bisa tembus pandang.
Somatic: Gangguan mental yang membuat seseorang meyakini jika dirinya memiliki cacat fisik atau sedang menderita penyakit tertentu.
Waham nihilistik: Pemikiran keliru yang menyebabkan seseorang percaya jika dirinya sudah meninggal dunia. Kondisi ini membuat penderitanya tidak peduli lagi dengan lingkungan di sekitarnya.
Mixed: Kondisi ketika penderitanya mengalami beberapa jenis gangguan delusi secara sekaligus, namun tidak ada yang lebih mendominasi dari yang lainnya.
Â
Diagnosis Delusi
Â
Untuk menegakkan diagnosis, dokter dapat melakukan pemeriksaan fisik dan wawancara medis dengan pasien (anamnesis) atau dengan keluarga dan kerabat pasien (alloanamnesis) untuk mengetahui keluhan, riwayat kesehatan, dan riwayat penyakit keluarga pasien.
Â
Selanjutnya, dokter dapat melanjutkan dengan tes laboratorium dan tes pencitraan yang bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan penyakit tertentu yang bisa menyebabkan munculnya gangguan delusi.
Â
Jika tidak menemukan penyakit tertentu yang dapat menyebabkan gangguan delusi, dokter dapat merujuk pasien untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Setelah itu, psikolog atau psikiater dapat melakukan pemeriksaan psikologis atau status mental pasien dan menyesuaikan kondisi pasien dengan kriteria diagnostik dalam buku Diagnostic Manual and Statistical of Mental Disorders (DSM-5).
Â
Cara Mengatasi Delusi
Â
Pada dasarnya, delusi adalah gangguan mental yang dapat ditangani dengan mengombinasikan terapi psikologis dan penggunaan obat-obatan. Secara umum, beberapa jenis terapi psikologis yang dapat dilakukan untuk menangani delusi adalah psikoterapi, terapi keluarga, terapi perilaku kognitif, dan lain sebagainya.
Â
Sementara itu, jenis obat-obatan yang umum digunakan untuk menangani gangguan delusi adalah:
Â
Antipsikotik tipikal: Jenis obat yang bekerja dengan cara memblokir reseptor dopamin D2 pada semua jalur dopaminergik pada sistem saraf pusat untuk meredakan gejala delusi. Antipsikotik tipikal merupakan generasi pertama obat antipsikotik.
Antipsikotik atipikal: Bekerja dengan cara menyeimbangkan kadar neurotransmitter dalam otak, seperti dopamin, noradrenalin, asetilkolin, dan serotonin untuk mengendalikan gejala delusi. Antipsikotik atipikal merupakan generasi kedua obat antipsikotik.
Tranquilizer: Digunakan untuk meredakan gangguan panik dan gangguan tidur yang kerap dialami oleh penderita gangguan delusi.
Antidepresan: untuk mengendalikan perubahan dan gangguan suasana hati.
Â
Delusi adalah gangguan mental serius yang perlu segera ditangani dengan tepat karena bisa memengaruhi cara berpikir dan persepsi seseorang. Jika Anda mengalami gejala yang mengarah pada delusi, sebaiknya segera konsultasikan hal tersebut dengan psikolog atau psikiater.
Sumber : Siloam Hospitals